Purworejo – Bulan Suci Ramadhan menjadi bulan istimewa bagi Umat Islam di seluruh dunia. Semua berlomba lomba mengisi aktifitas di bulan ini dengan antusias. Di Purworejo sendiri, dimulai dari budaya Nyadran (ziarah kubur dan membersihkan kubur) para leluhur dan kerabat yang telah mendahului di panggil Alloh, menyiapkan menu makan sahur dan berbuka, main petasan dan meriam kayu serta berbagi takjil. Ada yang unik yang terjadi di sekitar Gedung Pendopo Eks Kawedanan Kutoarjo, Sabtu sore (18/5) lalu. Serombongan “wanita” cantik berdandan lengkap dengan jilbab membagikan bungkusan Takjil berupa Kolak, Manisan Buah, Setup, dan Kue. “Ayo mas ini buat berbuka sore, dijamin endaaaaaang!” kata “wanita” bernama Jeni kepada para pengguna jalan.
Dari cara berjalan dan berbicara bisa ditebak, “wanita” ramah itu memang kaum waria. Mereka tergabung dalam Grup Kesenian Khas Tari Ndolalak besutan H Kelik Sumrahadi SSos MM (alm. Mantan Bupati Purworejo). “Ini tahun yang kedua bagi kami menggelar bagi-bagi takjil mengisi Bulan Suci Ramadhan sesuai pesan Pembina kami Pak Kelik!” kata Kamto (57th) MC Group D’Laowra.
Doto Sutarto (59th), Sesepuh Seniman asal pantai Selatan yang juga menggawangi Kelompok Kesenian Waria ini menyatakan bahwa D’Laowra telah mengangkat sisi positif para waria yang sering termarginalkan dalam masyarakat. “Mereka ini datang dari berbagai profesi, pengamen, tukang becak, kapster salon, petani dan pedagang, yang punya gairah seni tradisional yang harus di uri-uri dan nyatanya sangat menghibur saat pentas di beberapa tempat hajatan!”
Termasuk dalam berbuat baik di Bulan Ramadhan tahu ini, mereka juga ingin berbuat amal kebaikan kepada sesama. Nama-nama mereka seperti Brenda, Jeni, Rere, Erika dan Olivia adalah sosok waria yang sore itu berdandan mengenakan hijab dan polesan make up tipis nan feminin. Begitu keluar dari Gedung Pendopo rumah dinas Wakil Bupati menuju jalanan seputaran Alun-alun Kutoarjo, mereka lantas menyapa para pengguna jalan. Tak pelak mereka pun dengan ramah menyapa dan menyerahkan Takjil kepada siapa saja yang melintas. Sesekali gayanya yang genit membuat gelak tawa dan hiburan tersediri buat masyarakat yang melintas.
“Kami memang berniat ngabuburit menanti Bedug Maghrib di seputaran sini, eh ada pembagian Takjil dari para “embak-embak” cantik itu, seneng lah terhibur dan dapat makanan buat buka!” kata Artika Dessy (20th) warga asal Desa Ketawang.
Buat Jeni yang nama aslinya Junaedi, momen Bulan suci Ramadhan adalah membagi waktu dalam kesibukannya mencari nafkah sebagai pengamen untuk beribadah seperti umat muslim lainya. “Kami boleh juga kan berbagi Takjil buat masyarakat!” tanyanya retoris.
NDolalak lanang ora wedok ora atau disingkat D’Laowra menjadi wadah buat mereka mengaktualisasikan diri berkesenian. Kehadiran D’Laowra memang menjadi pembeda kesenian Ndolalak yang biasanya beranggotakan lelaki semua atau wanita semua, yang ini justru para kaum waria. Para pemain D’Laowra, dikumpulkan dari berbagai pelosok di Purworejo, bahkan ada yang tinggal di Kabupaten Kulonprogo dan Yogya. “Tapi semua asli dari Purworejo,” tambah Kamto.
Brenda dan teman-teman merasa mendapat tempat yang tak dipandang sebelah mata, bahkan dari kegiatan ini mereka bisa mencurahkan berbagai perasaan dan ketermarginalan yang mereka alami. “Kami tetap ingin memberi kontribusi kepada masyarakat terlebih hal yang positif. (agam)
Discussion about this post