RAA. Cokronegoro I atau yang bernama asli RM. Reso Diwiryo adalah sosok kontroversial dalam sejarah Kabupaten Purworejo. Selaku bupati pertama Purworejo, beliau yang memberi nama dan meletakkan dasar-dasar pembangunan, sehingga Purworejo layak disebut sebagai sebuah kota kabupaten.
Masalahnya RAA. Cokronegoro I menjadi bupati berdasar SK pengangkatan dari pemerintah kolonial Belanda karena keberhasilanya menghentikan perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro di Tanah Bagelen atau wilayah Purworejo tempo dulu. Oleh sebab itu, wajar jika ada pihak-pihak yang enggan mengakui berbagai karya Cokronegoro I dalam upayanya membangun Purworejo dan kemudian timbul polemik berkepanjangan mengenai hari jadi kota ini.
Namun tidaklah fair rasanya bila kita melihat masalah tersebut hanya dari satu sudut pandang semata. Perlu juga menyimak pernyataan pribadi tokoh bersangkutan RAA. Cokronegoro I, sehingga kita bisa memperoleh pemahaman yang utuh.
Atas Danu Subroto, penulis senior Purworejo mengatakan, ”Untuk mengerti apa yang ada di benak RAA. Cokronegoro I semasa hidupnya memang sulit. Tidak banyak referensi yang menjelaskan hal itu secara otentik dan detail. Tetapi jika membaca Serat Babad Kedhung Kebo, kita akan tahu pemikiran RAA. Cokronegoro I walau cuma sebagian kecil saja.”
Serat Babad Kedhung Kebo merupakan sebuah karya kitab berbahasa Jawa peralihan dan di dalamnya memuat candra sengkala (rumusan angka tahun mengunakan simbol kata-kata) berbunyi “Banyu Marga Pracihna Marjayeng Wikaan”.
Dengan candra sengkala tersebut bisa disimpulkan bahwa serat Babad Kedhung Kebo ditulis pada 1831, sekitar setahun setelah berakhirnya perang Diponegoro atau perang Jawa. Meski beberapa orang telah melakukan kajian mendalam terhadap isi Serat Babad Kedhung Kebo, di antaranya sejarawan Peter Carey dan termasuk Atas Danu Subroto sendiri, namun gaung serat setebal 700 itu tidak begitu kentara terdengar di telinga masyarakat luas. Sejumlah faktor dimungkinkan menjadi penyebabnya.
“Serat Babad Kedhung Kebo yang berbentuk kidung (tembang Jawa), isinya lebih banyak menggambarkan curahan hati RAA. Cokronegoro I tentang tanah kelahirannya, Tanah Bagelen. Dengan kata lain, serat ini cenderung membahas hal-hal yang bersifat lokal kedaerahan.
Memang ada bagian yang menyinggung soal perang Jawa, suatu peristiwa besar dalam sejarah nusantara. Tetapi jika pembahasan bagian itu yang ditonjolkan, maka bisa menyebabkan perdebatan sengit yang kontraproduktif. Tentunya karena itu merupakan pernyataan sepihak dari RAA. Cokronegoro I.
Sementara beberapa pihak lainnya pun sudah mengungkapkan perang Jawa dalam versi masing-masing, yaitu pihak kraton Surakarta (Solo), pihak kraton Yogyakarta dan pihak Pangeran Diponegoro. Jadi bila ingin fokus mengetahui seluk beluk perang Jawa secara lengkap, hendaklah keempat versinya tersebut dipelajari semua! Cukup rumit,” ujar Atas. Yang tak kalah rumit adalah mengenai siapa sesungguhnya penulis Serat Babad Kedhung Kebo.
Semula diyakini bahwa RAA. Cokronegoro I sendiri yang membuat Serat Babad Kedhung Kebo. Belakangan bukti-bukti penelitian lebih mengarah kepada sosok bernama Ali Basah. Dia seorang lurah dari wilayah kraton Yogyakarta yang memiliki hubungan pertemanan, baik dengan RAA. Cokronegoro I, maupun dengan Pangeran Diponegoro. Bisa dibilang kalau serat Babad Kedhung Kebo itu semacam press release RAA. Cokronegoro I yang dituliskan oleh Ali Basah.
Lalu apa klarifikasi RAA. Cokronegoro I menyangkut perang Jawa? RAA. Cokronegoro I menyatakan dirinya memerangi pasukan Pangeran Diponegoro karena alasan menjalankan tugas. Kala itu Pangeran Diponegoro mengobarkan perang perlawanan terhadap penjajah Belanda di wilayah kraton Yogyakarta.
Lama- kelamaan perang itu makin membesar dan merembet hingga ke Tanah Bagelen yang termasuk wilayah dari kraton Surakarta. Awalnya pihak kraton Surakarta tidak ada masalah dengan Pangeran Diponegoro, maupun pihak kraton Yogyakarta secara umum. Namun penjajah Belanda yang licik gencar menghasut pihak kraton Surakarta.
Penjajah Belanda mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro telah mencaplok Tanah Bagelen yang artinya melanggar kedaulatan kraton Surakarta. Pihak kraton Surakarta termakan hasutan itu lantas mengirim pasukan dengan senopati utama, Pangeran Kusumoyudho dan senopati pengamping, RM. Reso Diwiryo yang di kemudian hari menjadi RAA. Cokronegoro I untuk menggempur pasukan Pangeran Diponegoro di Tanah Bagelen.
RM. Reso Diwiryo yang sudah lama mengabdi pada kraton Surakarta sedari usia muda menunjukkan loyalitasnya dengan selalu melaksanakan setiap tugas yang diberikan kraton Surakarta kepadanya, termasuk tugas menggempur pasukan Pangeran Diponegoro tersebut.
Meski berstatus senopati pengamping atau senopati penunjuk jalan, RM. Reso Diwiryo justru lebih berperan penting memenangkan pasukan kraton Surakarta dalam perang ini ketimbang senopati utama, Pangeran Kusumoyudho.
Pasalnya RM. Reso Diwiryo adalah putera asli Tanah Bagelen, sehingga beliau paling paham medan pertempuran dan mampu melancarkan strategi perang yang tepat untuk meraih kemenangan.
Terkait hal itu pada bait Kidung Mijil Serat Babad Kedhung Kebo termuat ucapan-ucapan berikut :
“Yayi Mas Ontowiryo sangkara neki (Dimas Ontowiryo mengapa begini?)
Urut Sewu lan Temon sing diceker (Urut Sewu dan Temon kenapa dirusak?)
Kedhundang, Balak, Nimbuli (masih ditambah Kedhundang, Balak, dan Nimbuli)
Puyuh-puyuh sinarpada yekti (Dhuh-dhuh, waspadalah sekarang!)
Sun balang belanggur (akan ku lempar kau dengan meriam).”
RM. Reso Diwiryo atau RAA. Cokronegoro I menyebut Pangeran Diponegoro dengan sapaan yayi (dimas/adik) dan nama kecilnya, yakni Ontowiryo. Ini menunjukkan sebenarnya mereka berdua memiliki hubungan yang dekat. Kenyataannya RAA. Cokronegoro I dan Pangeran Diponegoro adalah saudara seperguruan.
Mereka sama-sama menuntut ilmu kepada seorang guru bernama Kyai Taptajani, tetapi berdasar urutan RAA. Cokronegoro I lebih senior. Sebenarnya juga tidak ada konflik pribadi antara RAA. Cokronegoro I dengan Pangeran Diponegoro. RAA. Cokronegoro I hanya menyesalkan Pangeran Diponegoro yang memulai mengobarkan perang dan mengakibatkan kerusakan di mana-mana, terutama di Tanah Bagelen, wilayah dari kraton Surakarta sekaligus tanah kelahiran RAA. Cokronegoro I.
Sesungguhnya kisah ini bisa dikatakan sebagai sebuah kecelakaan sejarah. Bagaiman dua orang ksatria, dua saudara seperguruan itu harus saling berhadapan di medan perang karena politik adu domba penjajah Belanda.
Terlepas dari bagian kisah suram tersebut, Serat Babad Kedhung Kebo menampakkan kecintaan RAA. Cokronegoro I terhadap tanah kelahirannya. Banyak pujian yang dia lontarkan tentang Tanah Bagelen, seperti yang tertera pada dua bait Kidung Dhandhanggula ini :
Wis kantyang andulu kuparti (dengan sendirinya jika melihat kejadian itu)
Sarasedya gya memanuh bakal (tujuan baik akan mempunyai hasil yang baik)
Turas teras lelabuhe (berdasarkan keturunan, keakraban dan kekeluargaan)
Hagyna kanthi yuwana murwani (yang pasti tinggal kehendak manusia itu sendiri yang jadi dasar kesentausaan budi)
Wahyu gupita maya (Sekalipun acapkali yang dihadapi maya)
Lelakon linuhung (kejadian yang paling besar)
Bagelen wignya resaya (selalu ada di tanah Bagelen)
Kadiparan rerangin raseng kawihaji (mulai dari sejarah para raja)
Turlana saksat tambah (dan jika diteliti dan didalami akan selalu bertambah)
Hananopna sukarah kinarsi (karena di sini sebenarnya dimulai bentangan sejarah)
Laladan Mentawis Budha harja (meski saat itu hanya masuk wilayah Mataram Hindhu)
Jinem budi Menorehe (tetapi memang banyak pertapa di Menoreh)
Lepen Bogowonto kahapyu (yang dikelilingi sungai Bogowonto mengalir damai)
Alas jati sumawung hagni (di sana pula letak hutan jati tua dengan bunga kemerahan)
Rerantan Demang —Banjar (Diselingi rumah Kademangan dengan halaman luas)
Hawunglangit Dlanggung (Dari Awu-awu Langit konon)
Ka Jenar Purwodadi (Terus ke Jenar dan Purwodadi)
Trus Ngurutsewu ,alas tuwa sesiwi (Kemudian Pantai Selatan ,hutan tua yang terus berkembang)
Tegal sawah binanjar (Pekarangan dan sawah indah berselang-seling.
RAA. Cokronegoro I begitu mengagumi kesuburan Tanah Bagelen oleh sebab sungai Bogowonto yang mengalir deras. Bahkan RAA. Cokronegoro I sampai menyamakannya dengan kondisi sungai Gangga di negeri India masih dalam bait Kidung Dhandhanggula melalui kalimat :
Ngare reja lan rawane (lembah subur dengan rawa-rawanya)
Suburing lepen Sindhu (kesuburan terjadi karena sungai tak pernah kering)
Prasetya Siluganggeni (keadaannya mirip sungai Gangga yang terkenal).
Tak berhenti hanya sebatas memuji. Segala potensi Tanah Bagelen yang mengagumkan itu mendorong tekad RAA. Cokronegoro I untuk mengoptimalkannya demi kemajuan daerah asal yang kemudian dia pimpin dan yang dia beri nama Purworejo ini.
Terbukti selama menjabat bupati pertama Purworejo dari 1831 hingga 1857, RAA. Cokronegoro I berhasil membangun berbagai karya monumental yang manfaatnya terus terasa hingga sekarang. Karya-karya RAA. Cokronegoro I, yaitu saluran irigasi Kedhung Putri, alun-alun Purworejo, jalan raya Purworejo-Magelang, pendopo kabupaten, Masjid Agung Purworejo beserta bedug Kyai Pendowo yang terbesar di dunia dan masih banyak lagi karya lainnya.
Penulis: Sri Widowati Retno Pratiwi
Editor: Muh Khoirudin
*Referensi: Atas S. Danu Subroto, 2008, RAA. Cokronegoro I Pendiri Kabupaten Purworejo, Gradasi, Yogyakarta, hal.60-61; 76-80.
Discussion about this post