Reviens Purworejo – Beberapa kasus pidana anak khususnya di Kabupaten Purworejo memang sedikit menarik perhatian. Di awal tahun 2019 ada sekitar 4 perkara pidana anak yang sampai pada ranah Litigasi Pengadilan Negeri Purworejo.
Berakhirnya kasus seperti ini pada ranah Litigasi dianggap merendahkah martabat dunia pendidikan. Hukuman yang diberikan pada pelaku pidana anak relatif sedikit paling hanya 3 Bulan 15 Hari saja, namun bukan sedikit atau lamanya hukuman yang diberikan kepada pelaku. Namun apakah hukuman itu perlu diberikan kepada anak? atau seperti apa?
Kasus seperti ini mengambil alih perhatian para lembaga atau organisasi yang peduli dengan hal tersebut. Permasalahan pidana anak tidak bisa dianggap remeh, dalam analisa sosiologis yuridis perkara pidana anak penting.
Ketidaktahuan dan kesadaran masyarakat yang kurang terhadap aturan dan batasan perilaku juga sebagai faktor meningkatnya perilaku menyimpang ini. Walaupun norma-norma perilaku dimasyarakat sudah komplek namun pengawasannya tidak begitu efektif.
Analisa faktor perilaku menyimpang pada anak banyak penyebabnya, salah satunya Faktor Differential Association, Menurut Edwin H. Sutherland, perilaku menyimpang terjadi akibat adanya differential association atau asosiasi yang berbeda terhadap suatu kejahatan.
Semakin tinggi interaksi seseorang dengan orang yang berperilaku menyimpang, semakin tinggi pula kemungkinan orang tersebut untuk bertingkah laku yang menyimpang. Derajat interaksi ini pun bergantung pada frekuensi, durasi, dan intensitas, sehingga interaksi tersebut tidak cukup sekali-dua kali untuk membuat seseorang bisa terpengaruh. Artinya semua elemen masyarakat harus berperan aktif meminimalisir pengaruh – pengaruh seperti ini.
Dalam ranah pidana anak orang dewasa dan anak dengan segala keterbatasan biologis dan psikisnya mempunyai hak yang sama dalam setiap aspek kehidupan, baik itu aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum.
Meskipun pada prinsipnya kedudukan anak dan orang dewasa sebagai manusia adalah sama di mata hukum, namun hukum juga meletakkan anak pada posisi yang istimewa (khusus). Artinya, ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku pada anak dibedakan dengan ketentuan hukum yang diberlakukan kepada orang dewasa, setidaknya terdapat jaminan-jaminan khusus bagi anak dalam proses acara di pengadilan.
Kedudukan istimewa (khusus) anak dalam hukum itu dilandasi dengan pertimbangan bahwa anak adalah manusia dengan segala keterbatasan biologis dan psikisnya belum mampu memperjuangkan segala sesuatu yang menjadi hak-haknya. Selain itu, juga disebabkan karena masa depan bangsa tergantung dari masa depan dari anak-anak sebagai generasi penerus.
Oleh karena itu, anak sebagai subjek dari hukum negara harus dilindungi, dipelihara dan dibina demi kesejahteraan anak itu sendiri.
Tindak pidana yang dilakukan oleh anak merupakan penyimpangan yang dikenal dengan istilah kenakalan anak (juvenile delinquency), yang dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku yang bersifat asosial. Bahkan banyak kasus-kasus kejahatan yang terjadi dengan pelaku anak, yang kemudian mengantarkan anak tersebut kepada proses hukum.
Istilah kenakalan anak diambil dari istilah asing juvenile delinquency. Juvenile artinya anak-anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquency artinya terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat rebut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, dursila, durjana, dan lain-lain. ( Soetodjo, Wagiati, 2008, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, hlm. 8-9 ).
Penyimpangan Perilaku yang terjadi harus diminimalisir dan dicegah. Salah satu cara yang ditempuh dengan melakukan edukasi intensif pada anak di sekolah – sekolah dan edukasi pada masyarakat yang jauh dari jangkauan pendidikan yang efektif.
Pencegahan dengan melakukan edukasi seperti ini semoga efektif menggugah kesadaran dan sebagai pelengkap keterbatasan biologis maupun psikis yang belum dimiliki anak. Atas dasar itulah Sekolah Hukum Indonesia hadir di kabupaten Purworejo.
Sekolah Hukum Indonesia ingin menyempurnakan kekuatan pendidikan dan karakter anak dengan memberikan bekal pengetahuan hokum terkait batasan – batasan berperilaku khususnya di Kabupaten Purworejo. Karena mewujudkan generasi berprestasi dengan keseimbangan berfikir pada anak merupakan cita cita bangsa. Anak sebagai generasi penerus bangsa memperjuangkan tujuan bangsa dan sebagai cermin maju dan tidaknya bangsa kedepan dapat terlihat dari kualitas anak mudanya saat ini.
Alenia Keempat Pembukaan UUD 1945 jelas tertulis tujuan Negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, oleh karena ini seharusnya semua elemen masyarakat, lembaga, dan organisasi di Indonesia ikut melakukan sumbangsih terwujudnya cita-cita tersebut.
Penulis: Ady Cesario, SH – Founder Sekolah Hukum Indonesia
Illustrasi: Republika Online
Discussion about this post